“Gilakk… serem bener ya. Hampir copot jantungku tadi.” Ujar seorang cewek bernama Shinta kepada lima temannya yang baru saja keluar dari teater satu bioskop.
“Iya… apalagi pas setannya muncul tiba-tiba. Iihhh… serem.” Timpal Virly membenarkan.
“Untung nggak terkincit aku tadi. Haha!” Tambah Dygta lagi. Virly menonjok pelan perut cowoknya itu. Dygta mengaduh, Virly melotot. ‘Bikin malu’, ucapnya tanpa bersuara.
Melihat umpan terpasang, Diaz pun berkoar, “Syukur deh kau nggak terkincit beneran, Dyg. Kalo nggak, berabe juga urusannya. Yang jelas sih kasian Virly-nya yang benahin air seni kau bertebaran dimana-mana. Bwahaha!!” Sahut Diaz tanpa balas. Tawanya pecah seketika bersamaan dengan temannya yang ikut mengibarkan bendera sekutu, menertawakan kemaluan Dygta di depan umum. Bugh! Kali ini satu kepalan penuh geram dari Shinta mendarat di perut Diaz. Diaz langsung tak berkutik dihadapan ceweknya itu.
Ribby terkekeh. “Haha… baru segitu doank, udah pada ketakutan aja semua.” Komentar Ribby membantah argumen teman-temannya mengenai film horror yang baru saja mereka tonton. Tanpa komando Dygta, Virly Shinta dan Diaz fokus melihat kearah Ribby sambil menggeleng-gelengkan kepala. Sedangkan Robby, yang sedari tadi diam tanpa kata terlihat santai saja menanggapi kalimat yang terlontar dari bibir Ribby. Ia sudah hapal betul dengan tabiat pacarnya itu yang tidak percaya segala hal yang berbau mistik dan tahayul. Ribby yang dipandangi seperti itu mengangkat alisnya heran, lalu menguasai dirinya kembali dengan tatapan menantang.
“Kenapa pada ngeliatin? Ada yang salah?!” Tanyanya balik tanpa rasa dosa sedikit pun sembari berlalu menggandeng Robby. Robby membalas gandengan Ribby sambil berhehe ria. ‘Emang enak, diledekin!’ Tuturnya berpantomim. Dua pasang sejoli yang ditinggal pergi Robby dan Ribby itu pun melongo di tempat seperti anak SLB (kurang ngencesnya aja. Hihi.)
Tak lama, keempatnya pun tersadar dan segera menyusul Robby dan Ribby yang tampak dari jauh sudah duduk manis di café steak favorit mereka.
“Pada mau pesan apaan?” Tembak Ribby begitu Diaz, Shinta, Dygta, dan Virly menduduki sofa panjang yang berhadapan dengan sofa yang diduduki Robby dan Ribby.
“Kalian udah pesan?” Tanya Shinta balik.
“Udah. Aku tenderloin, Robby chicken. Minumnya cappuccino float. Kalian cepetan deh pesannya, udah laper nih.” Jawab Ribby cepat sambil menabuh perutnya pelan. Robby tersenyum melihat tingkah konyol pacarnya itu.
“Iya bawel. Aku biasa, veggie nugget with salad and orange juice. Kamu tenderloin dan chocolate milkshake, kan?” Tanya Virly memastikan pesanan Dygta. Dygta mengangguk cepat. Senyum mengembang diwajahnya. Ia salut dengan ingatan pacarnya itu akan makanan yang disukainya.
“Hmm.. Aku sirloin, minumnya strawberry milkshake. Kamu apa, Beb?” Sambung Shinta sembari menanyakan pesanan Diaz. Diaz tampak masih mebolak-balik menu.
Robby tersenyum usil. Rese’-nya mulai kambuh. “Tuu Beb… Bebek, mau pesan apaan? Disini kagak ada enceng gondok! Hahaha!” Ledak Robby tiba-tiba tanpa ampun.
Melihat umpan terpasang kembali, Dygta pun melancarkan aksi balas dendamnya dalam tawanya yang ditahannya setengah mati. “Hmmpphh…. Iya Bek, apalagi air empang! Bwahahaha!”
Semua tertawa termasuk waitress yang sedang mencatat pesanan, tak terkecuali Shinta pacarnya sendiri.
“Aku chicken sama lemon tea. Steak sauce-nya double. Udah gih mbak, balik ke kitchen sana, nggak usah ikutan ketawa.” Sewot Diaz yang gemes melihat mbak waitress-nya yang masih saja menertawakannya. Lalu pandangannya beralih pada Shinta.
“Sorry, abis lucu sih, Beb.” Tutur Shinta pelan.
Dalam gelak tawa, tiba-toba Virly teringat sesuatu.
“Eh btw, hati-hati loh By soal makhluk gaib. Nggak baik juga kalo terlalu disepelein.” Ujar Virly memperingatkan.
Shinta mengangguk. “Iya, bener tuh. Tetangga aku dulu ya, sampai dua tahun tuh kunti bersarang di badannya nggak mau keluar-keluar. Padahal anaknya cantik abis.”
Dygta terperanjat. Ia tahu cewek yang dimaksud Shinta.
“Maksudmu si Audrey? Masa’ sih?” Ucapnya tak percaya.
“Beneran. Kemarin aku denger dari mamaku. Terus kita jenguk kesana sambil bawa ustadz gitu. Disana bosnya cerita kalau si Audrey udah dua tahun kayak gitu. Kasihan banget tau nggak, dia sampai dikunci terus dikamarnya gara-gara sering ngamuk nggak jelas. Sampai merinding aku ceritainnya.”
“Dia kerasukan apaan? Terusss.. apa nggak makan-makan dia?” Bombardir Virly ingin tahu.
“Katanya sih kunti penghuni pohon beringin yang ada di belakang tempat bimbelnya. Gara-garanya dia main jelangkungan sama teman-temannya. Dia sama sekali nggak takut bahkan nggak percaya sama setan-setanan. Pas main, nggak ada reaksi sama sekali dari boneka jelangkungnya. Ya makin pede lah dia kalau setan itu nggak ada. Eh, pas pulang tau-tau dia udah kerasukan aja, sampai kemarin.” Ucap Shinta menggebu-gebu.
“Terus, sekarang dia-nya udah sembuh?” Tanya Robby menimpali.
“Syukurnya udah setelah diobati sama ustadz yang kami bawa. Padahal selama ini bosnya udah coba pengobatan alternative kesana kemari tapi hasilnya nihil. Makanya bosnya seneng banget waktu dia sembuh.” Jawab Shinta menarik napas lega.
Dygta, Diaz, Virly dan Robby manggut-manggut mendengarkan cerita Shinta Sedangkan Ribby berekspresi datar. Ia lebih meladeni pesanan yang datang ketimbang menyimak cerita dari Shinta. Terbukti ia mulai mencomot French fries yang tergeletak manis di hot plate yang berada di hadapannya. Ribby mengunyahnya dengan asyik lalu mulai mengelap permukaan garpu dan pisau dengan tisu. Kini ia siap untuk menyantap steak yang memanggil-manggilnya sedari tadi.
“Selamat makan…” Seru Ribby bersemangat.
* * *
Ribby, Robby, Diaz, Shinta, Dygta dan Virly telah berkumpul seperti biasa. Tapi ada yang beda malam ini dari mereka. Mereka duduk di parkiran kampus melingkari satu benda yang cukup keramat. Sebuah kayu berbentuk tanda plus berkepala batok dengan pakaian yang seadanya. Yup, boneka jelangkung! Ribby memegang boneka itu tanpa gemetar dan rasa takut. Diaz mengikatkan sebuah spidol di lengan kiri jelangkung. Dan Dygta memegang white board-nya. Virly tampak mulai risau.
“Aduhhh… kita ngapain sih gini-ginian? Pulang yuk.” Ajak Virly yang tak ikhlas menjalankan ritual itu.
“Ssstt…. Bawel bener sih. Tenang aja kenapa sih.” Bantah Diaz sedikit berbisik.
“Iya. Yuk, yuk, yuk. Supaya apaan coba kita lakuin ini?” Sahut Shinta berpihak ke Virly Namun ternyata Dygta, Diaz, Robby maupun Ribby enggan mengindahkan ajakan Virly dan Shinta. Keempatnya menolak dengan keras.
“Supaya baik jalannya. Puas? Udah ah, kita mulai yuk.” Desak Ribby tak sabar.
Ritual pun dimulai. Keenamnya memegang tubuh jelangkung secara bersamaan. Pertama, Dygta yang melantunkan undangan, lalu disambung oleh Diaz. Tak ada reaksi yang terjadi. Ribby ikut-ikutan lalu setelahnya Robby. Merasa penasaran walaupun takut, Shinta dan Virly pun ikut ambil andil. Namun tak jua membuahkan hasil. Keenamnya menunggu sampai setengah jam lebih, namun kelihatannya sang jelangkung tak juga menunjukkan tanda-tanda kehidupan.
Ribby tampak mulai kesal. Ia bangkit berdiri dan berkacak pinggang.
“Tuh kan, udah ku bilang setan itu nggak ada. Buktinya nih jelangkung nggak hidup-hidup juga.” Yang lainnya ikut berdiri bersisian dengan Ribby.
“Bener juga. Cabut aja yuk. Nggak tahan aku dengan makhluk-makhluk pengisap darah disini.” Tambah Robby hendak pergi dari pelataran parker. Ribby menyusul langkahnya. Robby menggandengnya dengan erat.
Empat yang lainnya juga menyusul langkah Ribby dan Robby. Diaz dan Dygta menggandeng pacarnya masing-masing sambil menenteng perkakas ritual tadi dengan sebelah tangan.
Robby mengambil alih kemudi. Disisinya ada Ribby yang sibuk mengutak-atik i-padnya (sibuk main game maksudnya). Tiba-tiba Shinta berteriak histeris membuat Robby ngerem mendadak.
“Apaan sih, Key? Budeg nih kuping ku.” Omel Robby pada Shinta yang duduk persis di belakangnya.
“Singkirin kenapa sih nih jelangkung.... Buat suggest aja..” Keluh Shinta dengan napas tersengal.
“Ya udah. Tinggal buang aja kok repot.” Jawab Dygta memberi saran. Tak lama, dibukanya kaca di sisi kiri mobil dan membuang white board yang dipegangnya sedari tadi begitu saja. Sang white board tak berdosa pun sukses mendarat ke permukaan semak belukar. Shinta mengikuti jejaknya. Ia pun segera mencampakkan boneka jelangkung sekuat tenaga tak tentu arah. Benda konyol itu pun lenyap seketika.
“Eh, pada pake’ kostum apaan ni besok malam?” Tanya Ribby memecah kesunyian di dalam mobil.
Diaz menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Emang kita mau kemana besok malam?” Tanya Diaz balik.
“Horor Party, Dodol. Gimana sih?” Sambar Dygta jengkel.
Sekali lagi Diaz menggaruk kepalanya lalu berhehe-ria.
* * *
Keesokan harinya, Diaz, Shinta, Dygta, Virly, Robby dan Ribby telah siap dengan kostumnya masing-masing. Dygta dengan kostum pocongnya, Shinta dengan kostum susternya, Dygta dengan kostum screamnya lengkap dengan tongkat sabitnya, Virly dengan kostum kuntilanaknya, Robby dengan gaya ala vampir-nya, dan Ribby ala none-none Belanda.
“Udah kayak lontong nih aku dibungkus beginian.” Komentar Diaz begitu mendapati dirinya di depan cermin.
“Bwahahahaha! Udah tau boncel, malah milih kostum yang begituan.” Ledek Robby membuat kuping Diaz semakin panas. Dygta pun menghampiri keduanya.
“Udah Bro, terima aja takdir mu sebagai boncel sejati. Hahaha!” Tambah Dygta semakin memanaskan suasana.”
Diaz manyun tanpa bersuara. Keenamnya pun segera bergegas masuk kedalam ballroom. Kedatangan mereka disambut hentakan musik yang keras. Tampak kaum urban tengah berdendang sesuai hentakan musik. Dua buah mms masuk ke handphone Ribby. Tapi Ribby enggan menggubrisnya. Keenamnya terlanjur menikmati suasana yang ada. Perlahan, keenamnya terpisah, mereka mencoba mencari posisi enak masing-masing.
Party sudah hampir berakhir, namun Dygta dan Shinta tak juga muncul ke permukaan. Yang lain sudah mencari tapi hasilnya juga nihil. Ribby membuka handphone-nya, ia berniat menelpon salah satu diantaranya. Namun rasa penasarannya muncul ketika melihat ada dua pesan mms yang tertera di wallpaper hp-nya. Ia pun mengurungkan niatnya untuk menelpon dan membuka kedua pesan tersebut. Betapa terkejut-nya ia begitu mendapati kedua mms itu berisi foto Diaz yang tenggelam dalam kolam dan Shinta tergeletak dengan bersimbah darah. Tangan Ribby bergetar hebat. Melihat isi mms itu, Robby pun bergerak cepat kearah taman belakang yang sepi. Disitu ia mendapati dua orang temannya yang sudah tergeletak tak bernyawa. Seluruh pengunjung pun berhamburan.
Handphone Ribby berkedip. Sebuah pesan masuk. Ribby pun membukanya. Ia langsung menangis begitu membaca pesan yang tidak tahu pengirimnya siapa.
Tolong pulangkan aku. Aku ingin pulang…
Virly langsung tanggap. Ia pun menggamit tangan Ribby dan berlalu pergi mencari benda konyol yang sempat mereka campakkan begitu saja.
Dalam perjalanan, Ribby berujar dalam isaknya, “Kalau nggak ada kejadian ini, mungkin selamanya aku nggak akan percaya yang namanya hantu ataupun setan.”