Apa Yang Akan Kita Tanam?
Ridzgank
“Berapa lama waktu yang
dibutuhkan otak supaya tumbuh? –Nizam Hardianyah”
Pesan singkat dari Nizam itu membuat Mira tak bisa tidur semalaman.
Kata ‘otak’ yang bersanding dengan ‘tumbuh’ menyulut rasa aneh yang menjalari
pikirannya, dan membuatnya tak berhasil memejamkan mata barang sekejap pun. Mira
tahu, ada sesuatu yang tidak beres dengan pesan singkat itu.
Dan perasaan itu memaksa Mira mengingat-ingat kembali kejadian itu.
Kejadian yang hanya pernah terjadi satu kali, dan mungkin saja, tak akan pernah
terjadi lagi.
***
Masih mengenakan seragam sekolah, sore itu Mira berlari menuju
tanahnya yang hijau oleh tanaman cabai. Dari kejauhan tercium aroma kebahagiaan
yang sebentar lagi akan menjadi kenyataan tatkala panen sudah tiba, dan Mira
akan bersenang-senang bersama teman-temannya dengan uang hasil sendiri.
Tanah seluas satu hektar itu membentang di hadapan Mira. Kelopak
mata gadis itu terbuka lebar-lebar dengan bibir yang tak henti-hentinya
merekahkan senyum. Jemarinya yang seputih porselen saling bertautan di depan
dada, dan hatinya melompat-lompat kegirangan.
Sebentar lagi panen,
gumam Mira.
Semburat senja yang sewarna tembaga memaparkan sinarnya pada tanah
di hadapan Mira, dan matanya bergelora melihat betapa tanah itu kini bercahaya,
seolah emas terkubur di dalamnya, hanya menunggu hari untuk digali. Gadis itu
tanpa sadar menyeka genangan air mata bahagia di pelupuk mata dengan iris yang
hitam pekat.
“Mira!”
Gadis itu menengok, mendapati seseorang melambaikan tangan dari
saung yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Itu Zulfa. Dan di saung itu juga
tampak dua orang lain, Ali dan Nizam.
Tanpa pikir panjang, Mira berjalan riang ke saung itu.
“Kalian masih di sini?” tanya Mira sambil melepas sandalnya,
mencari tempat yang nyaman untuk duduk di saung.
Ali tersenyum. “Begitulah. Asyik rasanya membayangkan sebentar lagi
kita akan panen dan dapat hasil yang memuaskan.”
“Kira-kira berapa hasil yang akan kita dapatkan?” Zulfa nyeletuk
tiba-tiba.
“Sepuluh ton,” tandas Ali diiringi senyum.
“Kamu bercanda,” celetukku.
“Sebanyak itu? Wah, kira-kira apa yang akan kita lakukan dengan
uangnya, ya....”
Hati Mira terenyuh melihat Ali dan Zulfa yang membicarakan tentang
apa yang akan mereka lakukan dengan uang hasil panen. Membeli makanan? Pasti.
Baju baru? Tentu saja. Rumah baru, barangkali? Ah, sepertinya itu berlebihan.
Sambil menatap langit-langit yang dihiasi sebutir bohlam lima watt
yang redup, Mira amat tenteram mendengar bisikan angin yang melesak lewat celah
bambu yang berdecit sesekali. Disandarkannya punggungnya pada salah satu sisi,
dan Mira duduk dengan nyaman, seolah rasa senang memijati pundak dan kakinya.
Lalu dia teringat saat pertama kali hendak menjalankan usaha tanam
cabai ini. Itu terjadi setahun yang lalu, saat Ayahnya menghadiahi Mira satu
hektar tanah. Memang ayah Mira terkenal karena kaya dan dermawan, tapi ini
pertama kalinya Mira diberi hadiah tanah seluas itu.
Karena selama ini Mira hanya belajar apa yang diajarkan di sekolah,
gadis itu tak tahu apa yang harus dia lakukan dengan tanah seluas itu. Dijual?
Atau dikontrakkan saja?
Saat itulah Ali muncul. Memang Mira dan Ali sudah bersahabat sejak
lama, dan nyaris tak ada lagi rasa sungkan dalam tiap obrolan. Jadi, sore itu,
Ali mengutarakan maksudnya, yakni mengajak Mira untuk menanam cabai di
tanahnya. Tentu tidak menggunakan lahan itu sepenuhnya.
Mira hanya perlu meminjamkan tanahnya, dan nantinya Mira akan dapat
jatah sebesar dua puluh lima persen dari keuntungan.
“Biar aku yang urus tanamannya. Abahku punya usaha cabai di
kampung,” ucap Ali saat itu, berusaha meyakinkan Mira. “Aku yakin usaha ini
pasti bakal sukses. Pasti aku bisa kuliah sampai S2 dari hasil tanam ini!”
Jelas Mira amat senang dengan tawaran ini. Bertambahlah senangnya
saat tahu kalau dua sahabat lainnya, Nizam dan Zulfa pun ikut dalam usaha ini.
Berempat, mereka mulai berbisnis dengan menanamkan modal masing-masing untuk memulai
segalanya. Membeli bibit, menyiapkan lahan, membeli pupuk, serta tetek-bengek
lain yang kurang dimengeri oleh Mira, meski statusnya adalah anak petani kaya.
Sejak saat itu pula, persahabatan mereka yang mulai renggang karena
kesibukan sekolah kembali rekat seperti saat kecil dulu. Bercanda bersama,
menuangkan rasa dalam kata-kata bila ada kesempatan, saling membantu, tertawa
dan lelah bersama.
Mira rasa, semua itu lebih dari cukup untuknya.
“Nizam, diam saja kamu dari
tadi,” tegur Ali sambil menepukkan tangannya ke bahu Nizam yang terdiam di
pojok.
Lelaki yang sejak tadi tutup mulut itu mengernyitkan dahi. Mata
coklat serta wajah lancipnya mengendur. “Aku sedang membaca, sebentar lagi
selesai.”
“Membaca kan bisa di kamarmu nanti.”
Nizam enggan menjawab pertanyaan itu.
“Sudahlah, Li,” Zulfa ikut perbincangan dua arah itu. “Mungkin
Nizam sedang asyik baca buku. Bukannya kamu juga tak suka diganggu kalau sedang
main game online?”
Ali mengangkat bahu dengan enteng, tangan kirinya berpegangan pada
salah satu tiang saung, dalam satu tarikan, lelaki itu melompat keluar dari
saung. Rambutnya yang hitam agak keriting ikut terangkat.
Mira ikut keluar saung, mengamati bahu lebar Ali yang tampak
menghalangi senja untuk sampai di matanya. Seolah ada dinding kokoh yang
berdiri di hadapannya, dan dinding itu begitu dekat serta mudah didaki hingga
Mira dapat mengintip sepotong langit saus tomat yang sedang begitu indahnya.
Lalu angin semilir datang, membisikkan kebahagiaan yang juga
tercium dari udara. Sebentar lagi dia akan panen.
***
Hari-hari berikutnya, nyaris tiap pulang sekolah Mira menyempatkan
diri berkunjung ke saung, di mana selalu ada Ali, Nizam, dan Zulfa. Memang
ketiga sahabatnya itu selalu punya waktu luang karena tidak mengikuti les
seperti Mira.
Sesekali Mira pun berbincang dengan Nizam, lelaki paling minim
bicara di antara semuanya. Bagi gadis itu, bicara dengan Nizam punya sensasi
tersendiri yang seolah hanya bisa dimengeri olehnya. Apalagi jika menatap mata
kelabu Nizam yang menunjukkan aura misterius.
Dan begitulah Mira menghabiskan nyaris seluruh sore harinya bersama
sahabatnya menjelang masa panen, bahkan sampai-sampai Mira membolos les
sesekali, hanya untuk datang ke saung.
Waktu itu, Mira dapat mencium kebahagiaan dari udara.
***
Beberapa hari sebelum waktu panen tiba, Nizam yang pertama kali
bicara tentang kemungkinan gagal panen akibat hama. Sebelumnya memang masalah
itu belum pernah dibahas sekali pun, atau lebih tepatnya, tak ada yang mau
membicarakannya kecuali Nizam.
“Ini resiko kalau menanam cabai,” ungkap Nizam. Nada suaranya
runtut dan membius, tenang dan mematikan. “Apa yang akan kita lakukan
seandainya gagal panen? Bukankah kita sudah cukup banyak menanam modal untuk
usaha tanam cabai ini?”
Ali bersikeras menentang ucapan Nizam itu. Kita tak boleh pesimis,
katanya. Sebab pesimis kadang mambawa sial.
“Aku ini realistis. Kau bilang Ayahmu itu petani cabai, kenapa hal
seperti ini saja tak tahu?”
“Lebih baik kau diam saja, Zam. Aku tak mau kita bertengkar hanya
karena sifat pesimismu.”
Mira melihat betapa kental nuansa kecewa di wajah Nizam saat itu.
Tapi lelaki itu memilih diam dan pergi, membiarkan Ali yang mukanya mulai
memerah mengatur amarah. Saat itu, barulah Mira menyadari, betapa dia tak
berguna selain penyedia tanah.
Akhirnya, hari panen pun tiba, dan matahari ikut merayakan dengan
cara menyuguhkan cahaya segarnya pagi itu. Mira menyesal tidak bisa ikut
menyaksikan panen, karena sekolahnya sedang melangsungkan UTS. Jadi, selepas
sekolah, Mira langsung berlari ke kebun tanpa sempat mengganti baju.
Tapi belum sampai ke kebun, mendadak Mira terdiam melihat raut
kecewa Ali yang termenung di depan rumahnya.
“Nizam benar,” kata Ali dengan suara sendu. “Tanaman kita kena
hama. Hasil panen berkurang drastis, kita hanya dapat satu ton.”
“Bukannya satu ton itu cukup banyak?”
Ali menggigit bibir bawahnya sampai menggelengkan kepala. Wajahnya
terkulai lemah, dan lelaki itu pun pergi begitu saja.
***
Malam harinya, secara mengejutkan Nizam datang ke rumah Mira, dan
mengajaknya ke saung untuk berdiskusi. Usai mengenakan sepotong sweater biru,
Mira keluar dari rumah.
Di jalan setapak yang gelap tanpa bulan, Mira seolah berjalan di
sebuah bidang yang tak berbentuk. Dalam pikirannya terus terngiang wajah amat
kecewa Ali siang tadi. Hatinya digempur rasa sedih, dan Mira tak bisa berpikir
dengan jernih.
Memang, Mira hanya meminjamkan tanah saja, tanpa menanam modal.
Tapi tatkala memikirkan betapa sia-sia usaha sahabatnya selama ini, tangisnya
pecah. Lantas Mira bertanya, untuk apa Ali berpanas-panasan bersama beberapa
petani yang membantunya saat menggarap lahan? Untuk apa Zulfa lelah menyiram
tanaman dengan air yang pasti didoakannya supaya tanaman subur dan berhasil
panen? Dan untuk apa Nizam yang biasanya berkutat dengan buku, tiba-tiba
mengeluarkan keringat dan kelelahan? Apa semua itu hanya untuk kesia-siaan
belaka?
Mira menatap langit yang tanpa bintang. Hanya ada awan yang kotor,
dan di udara tak lagi tercium kebahagiaan. Hanya ada sesak dan kepedihan dan
kesia-siaan yang begitu nyata, membuat gadis itu makin enggan untuk berjalan,
terlebih membayangkan betapa wajah kecewa Ali dan Zulfa di saung nanti.
“Tenang saja,” ucap Nizam tiba-tiba. “Kita semua sedih. Tapi ini
sudah terjadi. Untuk itulah kita harus berkumpul, memikirkan bagaimana cara
menutupi kerugian kita.”
Benar saja. Begitu sampai ke saung, di bawah paparan bohlam yang suram,
Ali dan Zulfa tersenyum suram. Udara mendadak berat, dan sesak sekali. Mira
merasa sesak sekali, dan dia susah sekali untuk naik ke atas panggung kecil itu
hingga harus dibantu Nizam.
Keheningan lalu bersemayam di sana. Tak ada apa pun yang terhidang
selain rasa sedih dan sesal yang bertebaran di lahan yang kosong, dan serbuk-serbuk
yang berjatuhan dari kayu dari langit-langit sama sekali tak dihiraukan.
“Baiklah, karena tak ada yang mau bicara, lebih baik aku saja yang
mengawali,” suara Nizam menyobek hening. Dalam remang-remang, pandangan lelaki
itu tampak amat suram. “Kita berkumpul di sini untuk membicarakan apa yang akan
kita lakukan untuk menutupi kerugian.”
Tak ada jawaban.
“Apa yang akan kita lakukan selanjutnya?”
Nizam menunggu jawaban, tapi tak kunjung datang.
“Sebelum itu, Mira, aku ingin bertanya apa kamu tidak keberatan
tanahmu digunakan untuk hal seperti ini?”
Brak!
Tiba-tiba Ali menghantamkan kepalannya ke dasar saung. Lelaki itu
mengangkat wajahnya yang memerah dan dari matanya menyala-nyala api kekesalan. “Apa
maksudmu hal seperti ini? Kau mau bilang kalau menanam cabai itu hal yang
sia-sia?”
“Aku tak mengatakannya,” sanggah Nizam tenang.
“Ya, kau mengatakannya! Sejak awal, kau memang tak niat ikut usaha
ini. Aku tak melihat usaha kerasmu selain menyiram dan membaca buku. Ke mana
kau saat aku membeli bibit dan menggarap lahan? Membaca buku? Bersantai-santai,
bukan? Dan sekarang, kau merendahkan usaha seperti
ini?”
Zulfa terkejut. Dengan segera dia menyuruh agar Ali sedikit tenang,
tapi tidak digubris sedikit pun. Malah Ali makin menjadi-jadi dengan mengatakan
berbagai hal: Nizam yang berharap kalau bisnis ini gagal; Sikap pesimis Nizam
yang membicarakan gagal panen jadi penyebab utama; sampai mengatakan kalau
semua ini karena Nizam.
Napas Ali terengah-engah usai memuntahkan semua persediaan
kata-kata dalam pikirannya, dan wajahnya amat matang sekarang. Duduknya sudah
tak karuan, dan bukan satu-dua kali telunjuknya diarahkan ke Nizam. Untungnya,
Nizam tak memperburuk suasana. Lelaki itu hanya menatap ke bawah sambil
menggigit bibir. Sedang Mira makin gemetar dan takut, hingga tampak tak kuasa
untuk membuka mulut sedikit pun.
“Apa marahmu selesai?” tanya Zulfa.
Ali membuang wajah.
“Jadi, apa setelah ini kita akan menanam cabai lagi, atau mencoba
yang lain?”
“Kita tanam cabai lagi,” sahut Ali dengan suara yang ditekan.
Nizam mengangkat pandangannya. “Bagaimana kalau kita tanam saja
otakmu? Biar tak ada lagi orang yang merugi akibat orang sok berhasil
sepertimu.”
“Apa kau bilang?!” Ali naik pitam lagi. Lelaki itu menerjang ke
arah Nizam dan mendaratkan tangan kanannya tepat ke hidung Nizam.
Nizam mendorong tubuh Ali dengan kaki hingga kembali ke tempat asal
dan menubruk batas saung hingga bergetar hebat. Ali mengerjap-ngerjap, seolah
sadar baru saja apa yang dia lakukan itu salah, lelaki itu terdiam.
Diskusi itu berakhir dengan suasana mencekam.
***
Usai diskusi malam itu, Nizam hilang tanpa kabar selama kurang
lebih satu bulan. Ali bilang lelaki itu tak pernah kembali ke rumahnya. Zulfa
pun tak tahu bagaimana kabar Nizam. Tapi Mira harap, Nizam pulang ke kampung halamannya,
sebab itu tebakan terbaik.
Nizam itu bukan tipe orang yang sering bercanda. Pernah sewaktu
kecil Nizam yang tinggal dengan pamannya membunuh seekor kucing hanya karena
beol di tempat tidurnya. Beberapa hari Sebelum menghabisinya, kucing itu diperingatkan
agar tidak beol sembarangan sebab Nizam akan membunuhnya kalau melakukan itu.
Hinggalah tiba pada malam ini, saat Mira secara mengejutkan dapat
SMS dari nomor tak dikenal dengan nama Nizam Hardiansyah. Siapa lagi Nizam
Hardiansyah selain Nizam yang ia kenal?
Karena dirundung rasa takut, Mira berusaha sekuat mungkin
menganggap SMS Nizam sebagai guyonan. Dengan iseng, dia pun membalas, “Di mana
kamu tanam otak itu?”
Beberapa menit kemudian muncul balasan: Di tempat yang seharusnya.
***
Keesokan harinya, tanpa ditemani siapa pun, Mira memutuskan untuk
pergi ke tanah miliknya yang tampak liar ditumbuhi rerumputan. Tak terawat,
seperti janggut yang tumbuh di sekitar hidung, tidak pada tempatnya.
Dengan ragu sambil berharap dia tak menemukan apa pun, Mira
mengamati setiap jengkal tanah itu, mencari bekas galian yang mungkin baru saja
terjadi. Tiap langkah yang diinjak Mira penuh rasa mencekam yang makin
memberatkan.
Matahari sudah setinggi kepala, dan Mira lega karena tak menemukan
satu pun tanda bekas galian. Dengan peluh yang bercucuran, gadis itu memutuskan
untuk tiduran di saung yang kosong, tak ada siapa pun selain dia sendiri.
Diamatinya tempat itu, yang kemudian mengingatkannya saat-saat
saung itu ramai dulu. Alangkah baiknya jika cabai itu tak pernah dipanen, pikir
Mira. Mungkin semuanya tak akan seperti ini.
Mira menggulingkan tubuhnya hingga tengkurap, dan rambut hitamnya
yang sepunggung menyebar. Awalnya Mira mencoba memejamkan mata, tapi menyadari
ada sesuatu yang tidak beres, gadis itu langsung bangkit.
Wajahnya mendadak pucat. Tanah di bawah saung itu tampak seperti
bekas galian.
Ponsel di sakunya tiba-tiba berdering. Satu pesan masuk.
“Berapa lama waktu yang dibutuhkan otak supaya tumbuh? –Nizam
Hardianyah”