image: id.wikipedia.org |
Saat berbicara tentang perjuangan
emansipasi wanita maka tentu saja tidak bisa terlepas dari tokoh yang satu ini.
Perempuan asal Kota Jepara ini telah menjadi salah satu Pahlawan Nasional yang
paling berpengaruh. Tanpa perjuangan beliau mungkin keadaan wanita Indonesia
tidak bisa seperti sekarang ini, bisa belajar, berkarir dan melakukan aktivitas
dengan bebas.
Dengan mempelajari biografi Beliau,
Sahabat Inspiratif bisa belajar bagaimana perjuangan Raden Ajeng Kartini yang
tidak mudah dalam memperjuangkan emansipasi wanita Indonesia khususnya di Kota
Jepara. Penasaran seperti apa? Simak Penjelasan berikut ini.
Raden Ajeng Kartini lahir di Jepara
pada tahun 1979 tanggal 21 april dan meninggal pada tanggal 17 September tahun
1904. Di rentang waktu yang sangat singkat tersebut, hanya dua puluh lima tahun
saja mampu membuatnya dikenang sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh di
dunia, terlebih Indonesia.
R.A Kartini merupakan putri kelima
dari Raden Mas Adipati Ario dan M.A Ngasirah. Kedua orang tuanya merupakan
tokoh yang kuat di masyarakat. Berasal dari kalangan bangsawan lantas tak
membuat Kartini bebas untuk bisa menimba ilmu. Dia harus dihadapkan dengan
tradisi dipingit saat memasuki usia remaja 12 tahun. Hal inilah yang menjadi
hambatan terbesarnya dalam meraih cita-cita.
Namun semangat RA Kartini tidak surut
begitu saja, semangatnya untuk bisa terus belajar masih tetap membara di dalam
jiwanya. Karena merupakan cucu dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV yang pada
saat itu menjabat sebagai Bupati Pertama Jepara, memberikannya kesempatan untuk
menikmati bangku belajar bersama anak-anak Barat. RA Kartini juga belajar dari
kakaknya yang bernama Sosrokartono yang pandai ilmu bahasa dan sangat cerdas.
Dalam keadaan dipingit, RA Kartini
tetap semangat dan tidak menyurutkan keinginannya untuk memperjuangkan
emansipasi wanita di Jepara yang seringkali harus dipingit dan dilarang untuk
sekolah karena sebuah tradisi kuno. Melalui surat dia menceritakan tentang
keadaan sosial di kalangan wanita Indonesia, keluh kesahnya atas budaya pingit
dan lain sebagainya kepada temannya yang bernama Rosa di Belanda.
Dari surat menyurat tersebut,
timbullah bantuan berupa buku-buku, majalah Eropa dan Koran-koran untuk RA
Kartini dan membuatnya tertarik dengan gaya berfikir bebas di kalangan wanita
di Eropa. Dan berkeinginan untuk memperjuangkan budaya sosial yang saat itu
sangat rendah di kalangan wanita Indonesia. Dia pun berkeinginan untuk
melanjutkan studi di Eropa, namun keinginan tersebut kandas kala Ia harus
dihadapkan dengan perjodohan dirinya.
Akhirnya, tidak lama sejak saat itu
pada tahun 1903, RA Kartini dinikahkan dengan seorang Bupati Rembang K.R.M
Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. R.A Kartini mengutarakan keinginannya
selama ini kepada suaminya dan suami RA Kartini cukup mengerti keinginan
istrinya tersebut.
Akhirnya dibebaskanlah Kartini dengan
segala yang diinginkannya untuk mendirikan sebuah sekolah khusus wanita yang
kini berubah menjadi Gedung Pramuka. Namun belum sempat berjuang lama, Raden
Ajeng Kartini harus dipanggil oleh yang Maha Kuasa. Pada tanggal 17 September
1904 tepatnya saat RA Kartini berusia 25 Tahun harus menghembuskan nafas
terakhirnya. Dan kemudian dimakamkan di desa Bulu, Rembang.
Meski Kartini sudah tiada namun
jejaknya tidak berhenti disitu saja. Surat-surat RA Kartini kemudian dibukukan
oleh Mr.J,H. Abendadon, seorang Menteri Kebudayaan, Kerajinan Hindia Belanda
dan juga Menteri Agama. Buku tersebut diberi judul Door Duisternis tot Licht
yang dalam bahasa Indonesia berarti Dari Kegelapan Menuju Cahaya.
Buku Tersebut semakin terkenal dan
diketahui oleh masyarakat Belanda. Yang akhirnya mengubah pemikiran bahwa
melakukan pingit terhadap wanita Indonesia merupakan sebuah cara yang salah.
Akhirnya budaya pingit pada wanita Indonesia dibebaskan dan kaum wanita
diperbolehkan untuk belajar. Itulah biografi Singkat RA Kartini, Sang Pejuang
Emansipasi Wanita di Indonesia.