1
MINUTE 1 SECOND
(Fitriana & Fitriani)
Hari ini tepat tanggal 29 September ,setelah
beberapa detik berlalu meninggalkan dentang ke 12. Aku terbangun sesaat, kuraih
sebuah foto yang entah sudah berapa lama foto ini terpajang sendirian.
Foto yang terlihat
begitu dingin,dan usang. Foto yang diambil kira-kira 8 tahun yang lalu.
Kupandang lekat-lekat gambar yang terbingkai kenangan penuh arti ini. ada
sedikit rasa rindu yang menyusup di celah-celah hatiku. Aku bertanya-tanya ke mana
perginya semua senyuman ini.? Aku masih di sini tapi tidak dengan orang yang
bersamaku 8 tahun yang lalu. Sampai hari ini senyuman hangat itu menyapaku
perlahan lewat rapuhnya mimpi. Aku ingat hari ini adalah hari ulang tahunnya.
Dia yang telah pergi. kembali, pulang ke tempat penciptanya.
Cerita ini
kudedikasikan untuk semua orang yang sempat merasa sendiri, sempat merasa
memiliki,dan sempat merasa berat untuk mengakhiri.
“Arya cepetan
mandinya, gantian nanti kita bisa terlambat” teriakku pada Arya sembari menggedor-gedor
pintu kamar mandi. “Iya, sabar,” kata Arya dengan entengnya. “Arya!!!!”.
Namanya Arya , Arya Pratama. Sudah 3 tahun dia tinggal di rumahku. Setelah
nenek tercintanya meninggal dunia keluargaku memutuskan untuk mengasuh Arya.
Sejak kecil Arya
tinggal bersama neneknya. Karena sejak Arya umur 4 tahun ia sudah menjadi anak
piatu, setelah ibunya pergi kehidupan Arya menjadi kacau . Ayahnya mulai tidak
peduli dan sibuk dengan pekerjaan serta keluarga barunya. Tapi 3 tahun yang
lalu satu-satunya orang yang dicintainya pergi untuk selama lamanya. Ibuku yang
dulu sangat dekat dengan ibu Arya ,sedekat hubunganku dengan Arya memutuskan
untuk mengasuh Arya. .
Singkat cerita kami
selalu melewati hari bersama, kami tumbuh bersama selayaknya saudara. Aku anak
tunggal,maka dari itu kehadiran Arya di rumah membuatku menjadi tidak kesepian lagi.
Arya yang kukenal adalah Arya yang apa adanya,blak-blakan,senang
bercanda,santai, bandel,dan kadang-kadang bisa menjadi dewasa.
Beberapa
orang selalu memandang Arya dengan sebelah mata, mereka bilang Arya adalah
orang yang harus dijauhi, karena sejuta alasan yang hanya berasal dari “katanya” yang berubah menjadi acuan baku
bagi mereka yang berpikiran begitu picik.
Sampai
suatu ketika sisi putus asa Arya terlihat, Arya bilang dia kangen ayahnya. Dia
ingin bertemu ayahnya. Sudah beberapa kali dia menghubungi ayahnya tapi ayahnya
tetap tidak peduli. “Bunuh diri itu dosa ya, Van?” tanya Arya dengan nada yang
lirih “Ngomong apa sih lu? Iya dosa pake banget”. Aku menatap Arya yang mulai tersenyum
getir. “Apa ayah gue gak kangen sama gue ya, Van? Apa gue harus mati dulu baru
ayah gue datang liat gue, meluk gue. Gue pengen juga normal kayak anak lain,”
aku terdiam. “Loe kan masih punya gue, mama dan papa yang akan selalu ada buat
elu,” Arya mandang gue sambil tersenyum
“Iya sih”.
Arya pernah bilang
bahwa dia pengen ketemu ayahnya. Dia beberapa kali mengajakku mencari ayahnya
tapi satu bulan terakhir aku disibukkan dengan kegiatan persiapan olimpiade.
Arya sempat mengeluh karena dia berpikir bahwa aku tidak pernah memberikan
waktu untuknya. Semua memang kenyataan,,setiap
pulang sekolah aku langsung tidur,bangun lebih pagi pulang sangat larut. Dan
hari ini dia berniat mencari ayahnya. Sebenarnya aku ingin sekali menemani Arya.
Tapi ibu guru tidak mengizinkan. Alhasil Arya pergi sendiri..
Devan gue pergi dulu ya. jaga
diri elo baik-baik. Titip mama sama papa ya, Van. titip
semuanya , doain gue selamat sampai
tempat tujuan. Gak usah sedih kalau mikirin gue, gue baik-baik aja. dari kakak
elo, Arya.
Setelah beberapa jam
aku menerima pesan dari arya tiba-tiba telfonku berdering.
“Hallo? Kenapa ,Ma?”. aku melepaskan telfon begitu saja, Badanku terasa
lemas, aku kebingungan ketika mamah menangis dan bilang bahwa Arya kecelakaan.
Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, “Devan, kamu kenapa?” tanya salah
seorang guru. Aku hanya menggeleng kebingungan.
Sampailah aku di rumah
sakit. Tubuhku semakin lemas ketika melihat mama menangis. Langkahku semakin
gontai. Mama menghampiriku dan memelukku dengan erat. Air mata terus mengalir
membanjiri pipiku. “Arya mana, Ma?” tanyaku lirih. Kulirik ayah Arya yang
menangis meronta-ronta. “Arya mana, Ma?” dadaku terasa sesak. “Arya telah pergi
untuk selama-lamanya,Van” aku hanya menatap nanar mata mama. “Ini mimpi kan, Ma?
Arya gak mungkin pergi begitu aja,” Aku menangis dalam pelukan mama. Pelukan
yang selama ini tak pernah Arya rasakan dari ibunya.
Hari ini, salah satu
keinginan Arya terwujud. Ayah yang selalu Arya rindukan datang melihat
Arya,memeluk Arya untuk pertama dan terakhir kalinya. “Ya’, ayah elu udah
dateng, katanya elu rindu sama ayah elu? lu bangun dong ya’ ayo kita main kayak
dulu,gue janji gue gak akan bawel lagi,gue janji gak akan manja lagi,” aku
menangis menatap wajah Arya yang terlihat sangat pucat. Terbayang bagaimana aku
harus menjalani hari-hariku tanpa Arya. Aku terus berharap bahwa ini hanya
mimpi.
“Kenapa Arya pergi
secepat ini sih, Ma? Devan bahkan belum sempet ketemu dan memeluk Arya.
Harusnya Devan kemarin gak ngebiarin Arya pergi sendiri, Ma,” mama menyeka air
mataku. “Arya sudah pergi dengan tenang,Van”.
“Tante, aku kangen
banget sama ibu, aku juga kangen nenek,” kata Arya sambil duduk memandangi
mama. “Ada masalah apa, Arya?” mama mulai memandang Arya. Bisa kubayangkan
betapa sedihnya Arya harus merindukan orang yang bahkan tak pernah benar-benar
ada dalam ingatannya. Arya Cuma bisa memandang wajah ibunya dari foto.
“Aku pengen ketemu
ayah,” kata Arya . “Kalau begitu, pergilah bersama Devan”. “Enggak, Tante.
Devan sibuk,” Arya bangun dan memeluk mama. “Tante, makasih ya udah ngerawat
Arya selama ini. Maaf karena Arya belum bisa ngebanggain tante,” mama
melepaskan pelukan Arya. “Arya kenapa ngomong kayak gitu? Tante sayang sama Arya.
Tante mencintai Arya sama seperti Tante mencintai Devan. Kamu adalah anak tante,”
Arya mulai meneteskan air mata. “Doain ya, Tante. Arya selamat sampai tempat
tujuan. Salam buat om ya. Arya pamit ya, Tante,” kemudian tanpa kata Arya
melepaskan tangan mama, Arya menghapus air matanya dan melambaikan tangan pada
mama. Itulah saat terakhir mama dengan Arya, sebelum Arya pergi.
Kepergian Arya hanya
menyisakan kerinduan dan kesedihan yang mendalam. Teringat bagaimana selama ini
aku terlalu bergantung padanya, selain hal tentang sekolah, Arya jauh lebih
baik dariku. Aku selalu menunjukkan sifat manja selayaknya seorang adik saat
aku berada di dekatnya. Aku minta ini minta itu dan selalu saja Arya menuruti
semua keinginanku. Arya memperlakukan aku
seperti adik kesayangannya “Arya,
cepetan turun nanti terlambat,” kata yang terucap begitu saja dari
mulutku,seperti sebuah kebiasaan membuat suasana menjadi hening. Aku terdiam
dengan tatapan kosong air mata kembali jatuh membasahi pipiku. Mama untuk
sekian kalinya berusaha menguatkanku. “Devan gak bisa, Ma. Gak bisa kalau tanpa
Arya. Devan kangen sama Arya, Ma.”
Semua tempat di rumah
dan di sekolah hanya mengingatkanku pada Arya. Bangku Arya yang kosong,
terlihat dingin dan hampa. Aku ingat dulu saat buku pelajaranku ada yang
tertinggal. “Kenapa, Van?” tanya Arya. “Buku gue ketinggalan, Ya’. Gawat banget,”.
“Ya udah lu pake buku gue aja nih,” kata Arya menyodorkan bukunya. “Entar elu
gimana, Ya’?” Arya cuma tersenyum. “Gak gimana gimana, Van. Udah biasa. Kalau gue
yang gak bawa buku itu wajar. Nah, kalau elu jangan sampai deh elu dicap jelek,”
aku hanya mampu terdiam menatap Arya yang berbicara dengan santainya Padahal
dia tahu hukuman yang berat sedang menantinya. Akhirnya Arya benar-benar dihukum, dia
tidak boleh mengikuti pelajaran, dan harus berdiri di depan kelas selama 4 jam.
Gak ada canda, gak ada tawa yang tersisa hanya rasa kehilangan yang teramat
sangat. Dulu aku benci ketiak Arya bercanda saat pelajaran. Aku benci saat Arya
mencoret-coret bukuku. Aku benci saat Arya bertindak bodoh. Aku benci ketika Arya
tidur di kelas. Aku benci ketika Arya memutar lagu-lagu yang aneh saat jam
kosong. Tapi hari ini aku benar-benar
merindukan hal-hal yang tidak kusukai dari Arya. Aku memutar lagu
kesukaan Arya. Aku memandang bangku Arya, teringat wajah pulasnya saat tidur,
atau wajah konyolnya saat bercanda. Aku hanya menangis. Teman-temanku hanya
menatapku dengan wajah iba, Arya telah mengubahku menjadi anak yang semakin
lemah dan cengeng.
Aku kehilangan sebagian hidupku, aku kesepian. Saat
makan, saat belajar, saat menonton TV, saat tidur aku merasakan kehampaan. Aku
masih di sini tapi tidak dengan Arya. Di kamar, aku hanya melihat tumpukan
kenangan yang membeku. Kamar ini menjadi begitu dingin. Aku duduk di atas
jendela, kupeluk kakiku yang tersilang sembari menatap matahari terbenam. Dulu,
Arya paling suka duduk di sini, menatap matahari terbenam. Dan sekarang senja
itu bercerita tentang Arya, Arya yang berusaha menjadi kuat padahal hatinya
rapuh. Arya yang kesepian,Arya yang telah pergi dan tak kembali.
“Kalau gue gak ada. Siapa yang bakal ngejaga elo ya,
Van. Elo kan manja banget. Hahaha,” canda Arya.. “Kalau elo pergi gue juga
bakal pergi, jadi elo akan selalu ngejaga gue,” dia cuma tersenyum. “Makasih ya,
Van. Udah nemenin gue selama ini gue gak tahu apa jadinya gue tanpa elo.
Makasih elo udah mau jadi adek gue. Ya meskipun gue kadang kesel kalau elo
mulai bawel. Meskipun gue bukan siapa-siapa elo, tapi gue selalu nyebut nama
elo di dalam doa-doa gue. Gue harap elo selalu bahagia, gak kurang suatu apapun,”
kata-kata yang sempat diucapkan Arya saat gelap semakin menelan senja sore itu,
membuatku sadar bahwa Arya selalu berharap atas kebahagiaanku.
Seiring berjalannya waktu aku mulai terbiasa hidup
tanpa Arya, tepatnya aku membiasakan diri hidup tanpa Arya. Terkadang rasa
rindu terus mengusikku, tapi kesibukanku sedikit banyak membantuku untuk
merelakan Arya.
Dan hari ini tanggal 29 September, hari ulang tahun
Arya. Aku memutuskan untuk pergi ke makam Arya. Arya kayak gimana ya wajah kamu
sekarang? Sampai sekarang kamu masih menjadi teman,sahabat,dan kakak terbaik
bagiku. Aku pasti menyusulmu ya’ tunggu aku disana ya.
Arya mengajarkanku arti dari kesendirian, memilik, dan
kehilangan.
Mungkin hari ini kita masih bersama, selagi masih bisa bersama jangan sia-siakan
waktu ini nikmatilah masa-masa ini, masa yang tak akan pernah terulang.
Kenanglah setiap senyuman, setiap air mata, dan setiap perjalanan yang kita
lewati. Jangan biarkan dirimu menyesal karena waktu lebih kejam dari apa yang
pernah kita bayangkan -Arya-